Tugas 5 Ilmu Budaya Dasar: Bagaimana Saya Menghadapi Penderitaan

Semua orang pernah mengalami penderitaan. Tak kenal usia maupun jenis kelamin, siapapun bisa saja merasakan titik terendah dalam hidupnya.

Begitupun dengan saya. Saya pernah mengalami masa sulit itu di akhir masa SMA saya.

Saya dulunya merupakan salah satu siswi di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Jakarta. Sekolah saya tersebut memiliki predikat sebagai madrasah terbaik di Jakarta. Tentunya di sekolah saya banyak siswa-siswi yang berprestasi, tak terkecuali para siswa di kelas saya sendiri.

Saya merupakan murid pindahan di kelas saya ini. Saya mengambil jurusan IPA, sama seperti jurusan saya di sekolah sebelumnya. Namun yang saya rasakan adalah berbeda. Persaingan di kelas cukup berat dan kurikulum yang dilaksanakan oleh sekolah juga cukup sulit. Tak heran bila sekolah ini bisa mendapatkan predikat terbaik se-Jakarta.

Saya pikir saya bisa dengan mudah 'survive' di lingkungan seperti ini, ternyata tidak juga. Teman-teman saya di kelas kebanyakan merupakan siswa yang cerdas bahkan jenius. Mereka beberapa kali mengikuti olimpiade. Mereka juga rajin dan ambisius, membuat saya tertinggal sangat jauh dari mereka. Bahkan untuk belajar dari mereka pun terkadang saya merasa tak enak karena takut terlalu menyusahkan mereka dengan ketidakpintaran saya.

Kesulitan ini saya alami sampai akhir sekolah, lebih tepatnya pada saat kelas 3 SMA. Ujian-ujian semakin banyak, ditambah persaingan untuk memasuki Perguruan Tinggi Negeri unggulan. Singkat cerita, saya gagal. Bahkan saya adalah satu-satunya siswa di kelas yang belum kuliah di tahun pertama setelah lulus.

Sudah berbagai macam jalur yang saya tempuh untuk bisa lolos di PTN impian saya dan juga harapan orangtua saya. Namun tidak ada satupun yang tembus. Dengan penuh rasa kecewa namun tidak terlalu ditunjukkan oleh orangtua saya, mereka memberi opsi. Apakah saya ingin kuliah di swasta saja atau menunda satu tahun (gap year). Dengan syarat, apabila saya ingin berkuliah di perguruan tinggi swasta, maka saya tidak boleh mengulang lagi di tahun depan karena itu akan membuang-buang biaya saja.

Karena saya masih penasaran dengan kemampuan saya, saya memilih untuk gap year daripada saya tidak bisa mencoba lagi perguruan tinggi negeri tersebut dan selamanya dirundung rasa penasaran.

Penderitaan itu semakin terasa selama saya gap year. Dimulai dari kabar teman-teman yang sukses lolos di PTN, PTK, bahkan PTLN impian mereka. Sekolah saya pun memasang spanduk raksasa di gerbang sekolah, menampilkan daftar nama-nama siswa yang berhasil berikut nama jurusan dan universitas di mana mereka diterima. Seiring berjalannya waktu, pertanyaan dari keluarga dan kerabat "kuliah di mana sekarang?" bagaikan mimpi buruk bagi kami yang sedang menjalani gap year.

Perasaan bersalah karena menganggur dan tidak bisa menghasilkan apa-apa untuk orangtua terus-terusan menghantui saya. Saya bahkan tidak sanggup berkomunikasi dengan teman-teman yang sudah melangkah lebih jauh dari saya. Saya menjadi semakin anti-sosial, mudah menangis, dan mudah stres. Yang menyemangati pun hanya satu dua, bahkan terkadang tak ada. Saya pun merasa semakin terbelakang.

Singkat cerita, di tahun kedua, saya gagal lagi. Di tahun kedua lah saya menempuh jalur lebih banyak dan semakin banyak pula kegagalan yang saya alami. Saya tambah stres. Tangis saya semakin keras. Saya benar-benar merasa seperti orang terbodoh dan tergagal di dunia.

Pada akhirnya, tersisa hanya satu cara, yaitu memasuki perguruan tinggi swasta. Sejujurnya saya sempat sangat tidak ikhlas menghadapi kenyataan dengan nasib saya yang harus begini. Namun inilah takdir. Perlahan-lahan saya bangkit, saya tahu saya tidak seburuk itu. Semua bisa saya buktikan ketika saya berkuliah di tempat ini. Saya bisa membuktikan prestasi saya meskipun saya tidak berkuliah di PTN favorit tersebut. Bertemu dengan teman-teman baru, menjalani rutinitas baru, mempelajari hal-hal baru, merupakan cara saya menghadapi dan pelan-pelan melupakan penderitaan saya yang telah lalu.

Sudut pandang orang terhadap penderitaan bisa berbeda-beda. Mendengar cerita saya, mungkin banyak yang akan menganggap remeh. Mereka mungkin akan menyalahkan saya yang terlalu keras kepala ingin lolos di PTN. Padahal semua ini semata-mata saya lakukan demi membahagiakan kedua orangtua saya. Dan percayalah, jika bukan kita sendiri yang merasakan penderitaan itu, kita tidak akan pernah tahu betapa sulit medan yang seseorang hadapi. Maka dari itu alangkah lebih baik kita tidak menghakiminya dengan opini kita sendiri tanpa tahu secara lengkap apa saja yang sudah ia lalui.

Meski saya sudah sembuh, penderitaan itu akan selalu meninggalkan bekas di hati dan pikiran saya. Penderitaan itu memberi pelajaran besar pada hidup saya. Waktu yang terus berlalu dan sikap ikhlas lah yang perlahan-lahan menyembuhkan saya. Karena sesungguhnya tanpa penderitaan itu, sampai kapanpun saya sebagai manusia tidak akan bisa berkembang. Saya tidak akan belajar bagaimana caranya bersikap dewasa ketika menghadapi pahitnya kehidupan.

Komentar